Event sent successfully. Minimalisme dan Fast Fashion

Ramadan Fest

Minimalisme dan Fast Fashion

Setiap Lebaran, umat Islam di Indonesia rama-ramai membeli baju baru. Budaya ini adalah budaya khas Indonesia atau negara-negara Melayu, karena di banyak negara Islam, tidak ada budaya seperti ini. Sebenarnya hal ini didasari keinginan untuk tampil sebaik-baiknya di Hari Raya. Sayangnya, niat baik ini saat diterapkan memiliki dampak buruk, yaitu adanya persepsi bahwa tampil baik itu harus dengan sesuatu yang baru.

Dalam dunia gaya hidup, kita mengenal fast fashion, yaitu pergantian mode secara cepat. Industri mode dunia bergulir berdasarkan musim di Eropa atau Amerika, yaitu keluarnya koleksi Fall-Winter dan Spring-Summer. Koleksi di toko akan diganti (meski belum habis stoknya) dengan koleksi baru menjelang musim baru datang. 

Hal ini juga terjadi di negara tropis seperti Indonesia. Akibatnya, setiap enam bulan koleksi di gerai-gerai busana berganti secara teratur. Dan kita pun “dituntut” untuk mengganti koleksi lemari kita dengan yang baru, meski koleksi lama masih bagus. Jika tidak, kita dianggap ketinggalan.

Secara tak sadar, hal ini berdampak pada lingkungan hidup dan juga kesehatan jiwa. Pergantian fashion secara cepat akan menguras banyak energi yang berujung pada pelepasan karbon. Penggunaan bahan, baik fosil maupun organik, juga menguras sumber daya bumi. Belum lagi banyaknya energi yang terbuang selama proses pembuatan, logistik, penyimpanan, hingga pemasaran di pusat perbelanjaan. Di ujung, akan ada timbunan sampah fashion yang luar biasa besar yang tentu akan merusak ekosistem. Mikro-plastik yang membahayakan ikan dan biota laut banyak berasal dari pakaian. 

Selain merusak lingkungan, fast fashion ini juga merusak kesehatan jiwa. Orang mencari kebahagiaan bukan dalam diri, tapi dari apa yang dimiliki. Masalahnya, kepemilikan hanya akan memberikan kesenangan semu. Dalam sejumlah penelitian, 3 bulan setelah memiliki sesuatu, excitement itu akan punah sama sekali. Lalu, kita ingin memiliki sesuatu yang baru sebagai gantinya, dengan asumsi akan mendatangkan “kebahagiaan” baru. Begitu terus. 

Karenanya, belakangan ini muncul gerakan minimalisme. Dimulai dari Jepang (yang berakar pada budaya Zen) lalu menyebar ke seluruh dunia. Sebenarnya semua agama memiliki dasar-dasar minimalisme. Dalam Islam, ada kata yang pas, yaitu zuhud. Kata ini aslinya bermakna minimal. Jadi, gaya hidup zuhud adalah gaya hidup minimalisme. 

Di bulan Ramadan dan menjelang Lebaran ini ada baiknya kita mengembalikan esensi dari kemanusiaan kita. Kembali ke Fitri (Idul Fitri) tidak lagi dimaknai dengan mencoba mendapatkan kebahagiaan lewat mendapatkan sesuatu (attachment), tapi bagaimana melepas (decluttering). Kembali ke diri, bukan benda yang dimiliki.

Ikuti Diskusi Minimalisme dan Fast Fashion di Ramadan Fest Tempo Institute.

Hari, Tanggal:
Kamis, 6 Mei 2021

Waktu:
16.00-17.00 WIB

Narasumber:
Dian Purnomo, Penulis Buku Perempuan yang Menangis Kepada Bulan Hitam


Penyedia kelas

Harga

Tidak ada kelas tersedia

Topik

Diskusi

Penyedia kelas

Lokasi

Daring


Sudah Termasuk :

  • Diskusi Interaktif
  • E-Sertifikat
  • Materi Diskusi
  • Rekaman Diskusi
  • Akses LMS Tempo Institute

Daftar Kelas

Diskusi Minimalisme dan Fast Fashion | Kamis, 6 Mei 2021 | 16.00-17.00 WIB

Apa yang akan dipelajari?

Tujuan Pembelajaran

  • Di akhir diskusi, peserta dapat mengimplementasikan gaya hidup menimalis dalam fassion.

Materi yang dipelajari

  • Bagaimana perputaran fashion yang cepat akan melukai bumi.
  • Kembali ke hidup dengan apa yang kita butuhkan, bukan yang kita inginkan.

Sudah Termasuk :

  • Diskusi Interaktif
  • E-Sertifikat
  • Materi Diskusi
  • Rekaman Diskusi
  • Akses LMS Tempo Institute

Ramadan Fest

Minimalisme dan Fast Fashion

Setiap Lebaran, umat Islam di Indonesia rama-ramai membeli baju baru. Budaya ini adalah budaya khas Indonesia atau negara-negara Melayu, karena di banyak negara Islam, tidak ada budaya seperti ini. Sebenarnya hal ini didasari keinginan untuk tampil sebaik-baiknya di Hari Raya. Sayangnya, niat baik ini saat diterapkan memiliki dampak buruk, yaitu adanya persepsi bahwa tampil baik itu harus dengan sesuatu yang baru.

Dalam dunia gaya hidup, kita mengenal fast fashion, yaitu pergantian mode secara cepat. Industri mode dunia bergulir berdasarkan musim di Eropa atau Amerika, yaitu keluarnya koleksi Fall-Winter dan Spring-Summer. Koleksi di toko akan diganti (meski belum habis stoknya) dengan koleksi baru menjelang musim baru datang. 

Hal ini juga terjadi di negara tropis seperti Indonesia. Akibatnya, setiap enam bulan koleksi di gerai-gerai busana berganti secara teratur. Dan kita pun “dituntut” untuk mengganti koleksi lemari kita dengan yang baru, meski koleksi lama masih bagus. Jika tidak, kita dianggap ketinggalan.

Secara tak sadar, hal ini berdampak pada lingkungan hidup dan juga kesehatan jiwa. Pergantian fashion secara cepat akan menguras banyak energi yang berujung pada pelepasan karbon. Penggunaan bahan, baik fosil maupun organik, juga menguras sumber daya bumi. Belum lagi banyaknya energi yang terbuang selama proses pembuatan, logistik, penyimpanan, hingga pemasaran di pusat perbelanjaan. Di ujung, akan ada timbunan sampah fashion yang luar biasa besar yang tentu akan merusak ekosistem. Mikro-plastik yang membahayakan ikan dan biota laut banyak berasal dari pakaian. 

Selain merusak lingkungan, fast fashion ini juga merusak kesehatan jiwa. Orang mencari kebahagiaan bukan dalam diri, tapi dari apa yang dimiliki. Masalahnya, kepemilikan hanya akan memberikan kesenangan semu. Dalam sejumlah penelitian, 3 bulan setelah memiliki sesuatu, excitement itu akan punah sama sekali. Lalu, kita ingin memiliki sesuatu yang baru sebagai gantinya, dengan asumsi akan mendatangkan “kebahagiaan” baru. Begitu terus. 

Karenanya, belakangan ini muncul gerakan minimalisme. Dimulai dari Jepang (yang berakar pada budaya Zen) lalu menyebar ke seluruh dunia. Sebenarnya semua agama memiliki dasar-dasar minimalisme. Dalam Islam, ada kata yang pas, yaitu zuhud. Kata ini aslinya bermakna minimal. Jadi, gaya hidup zuhud adalah gaya hidup minimalisme. 

Di bulan Ramadan dan menjelang Lebaran ini ada baiknya kita mengembalikan esensi dari kemanusiaan kita. Kembali ke Fitri (Idul Fitri) tidak lagi dimaknai dengan mencoba mendapatkan kebahagiaan lewat mendapatkan sesuatu (attachment), tapi bagaimana melepas (decluttering). Kembali ke diri, bukan benda yang dimiliki.

Ikuti Diskusi Minimalisme dan Fast Fashion di Ramadan Fest Tempo Institute.

Hari, Tanggal:
Kamis, 6 Mei 2021

Waktu:
16.00-17.00 WIB

Narasumber:
Dian Purnomo, Penulis Buku Perempuan yang Menangis Kepada Bulan Hitam


Apa yang akan dipelajari?

Tujuan Pembelajaran

  • Di akhir diskusi, peserta dapat mengimplementasikan gaya hidup menimalis dalam fassion.

Materi yang dipelajari

  • Bagaimana perputaran fashion yang cepat akan melukai bumi.
  • Kembali ke hidup dengan apa yang kita butuhkan, bukan yang kita inginkan.